TARAKAN – Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal di wilayah perbatasan Kalimantan Utara (Kaltara) masih berlangsung secara masif dan tersusun dalam jaringan yang rapi.
Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kaltara mengungkapkan bahwa modus perekrutan dilakukan oleh individu-individu di kampung halaman yang kemudian menghubungkan calon PMI ke mandor di Malaysia.
“Pola rekrutmen itu ilegal. Bervariatif juga. Ada namanya jaringan. Ada orang di kampung itu, dia hanya merekrut orang biasanya keluarga, tetangga-tetangga,” ungkap Admin BP3MI Kaltara, Usman Affan di Tarakan, Jumat (16/5/2025).
Perekrut lokal ini kemudian menghubungkan calon pekerja ke mandor yang sudah menunggu di wilayah Tawau, Malaysia. Menariknya, para mandor ini bukan warga Malaysia, melainkan WNI yang telah lama bekerja dan dipercaya oleh majikan di sana. PMI ilegal tersebut nantinya dikirim ke negara Malaysia melalui jalur laut.
“Ini mandor ini orang Indonesia juga sebenarnya, bukan orang Malaysia. Malaysia hanya cukup sebagai majikan. Misalnya si A ini dipercaya. Sudah lama pengalamannya, pokoknya sudah lah dipercayalah,” lanjutnya.
Sistem ini dioperasikan layaknya bisnis. Para perekrut mendapatkan keuntungan berupa “price per kepala” dari pihak majikan.
“Kalau kita loloskan satu orang, biasanya itu dibayar majikan Rp1.200.000 sampai Rp1.300.000 per kepala,” jelasnya.
Modus rekrutmen ini semakin kompleks ketika pekerja migran yang tengah cuti justru dimanfaatkan kembali sebagai perekrut. “Ada PMI juga sebagai tersangka. Dia cuti, diperintahkan mandor. Mandor ambil, merekrut. Itu biasanya lingkungan keluarga,” ungkapnya.
BP3MI menilai bahwa jaringan ini berkembang subur karena tingginya permintaan tenaga kerja di sektor kasar seperti perkebunan sawit, serta kurangnya pengawasan di jalur-jalur perbatasan yang sulit dijangkau.
Kasus PMI ilegal yang tertangkap dan dideportasi pun seringkali berulang. Ada di antara mereka yang telah beberapa kali dideportasi, namun tetap kembali masuk secara ilegal. (apc/and)
Reporter: Ade Prasetia
Editor: Andhika