Palangka Raya,Radar Tribun- Kasus pemalsuan surat kuasa yang melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Pelantaran, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah (Kalteng), kembali menjadi sorotan publik. Dua terdakwa, Yansen (66) dan Meliana Jusman (66), yang terbukti memalsukan tanda tangan direktur perusahaan hingga merugikan pihak perusahaan lebih dari 500 miliar rupiah, divonis lepas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) setempat beberapa hari lalu.
Keputusan vonis lepas yang dinilai janggal ini menuai kontroversi, terutama karena meskipun perbuatan pemalsuan surat terbukti, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hal ini memicu dugaan adanya praktik yang tidak wajar dalam proses hukum, bahkan ada yang menyamakan kasus ini dengan dugaan praktik penyuapan hakim dalam kasus Ronald Tannur di Jawa Timur.
Dugaan Penyuapan Hakim, Baradatu Laporkan Kasus ke Komisi Yudisial
Menanggapi keputusan tersebut, Ketua Umum Barisan Advokat Bersatu (Baradatu), Herwanto Nurmansyah, mendatangi Komisi Yudisial (KY) untuk meminta agar kasus ini didalami lebih lanjut. Ia berharap Komisi Yudisial dapat memeriksa dan memanggil tiga hakim yang terlibat dalam vonis lepas tersebut, yaitu Hakim Ketua M. Nazir, Hakim Anggota Efrata Happy Tarigan, dan Hakim Anggota Khairulludin.
“Kami menduga bahwa ada kemungkinan ini adalah kasus penyuapan hakim jilid 2, seperti yang terjadi pada kasus Ronald Tannur di Surabaya. Kami berharap Komisi Yudisial segera memeriksa para hakim ini dan memastikan tidak ada praktek korupsi dalam pengambilan keputusan ini,” tegas Herwanto usai menyerahkan laporan pengaduan ke Komisi Yudisial, di Jakarta Pusat.
Herwanto menilai bahwa keputusan vonis lepas ini sangat membingungkan. Meskipun pemalsuan surat kuasa sudah terbukti, namun majelis hakim memutuskan bahwa tindakan tersebut bukanlah sebuah tindak pidana. Hal ini, menurutnya, menimbulkan kecurigaan adanya ‘main mata’ dalam proses hukum tersebut.
“Bagaimana bisa sebuah perbuatan terbukti, namun tidak dianggap sebagai tindak pidana? Ini sangat janggal dan mengundang pertanyaan besar,” ujar Herwanto.
Membandingkan dengan Kasus Ronald Tannur di Surabaya
Herwanto juga mengaitkan kasus ini dengan kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti oleh terdakwa Gregorius Ronald Tannur di Surabaya, Jawa Timur. Dalam kasus tersebut, meskipun terdapat bukti kuat mengenai tindakan pelanggaran hukum, Ronald Tannur justru divonis bebas oleh hakim. Belakangan, tiga hakim yang menangani perkara ini—Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo—ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap yang melibatkan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahman.
“Kasus ini menunjukkan betapa besar potensi penyalahgunaan wewenang oleh oknum hakim, yang bisa terjadi jika tidak ada pengawasan yang ketat. Seperti yang terlihat dalam kasus Surabaya, di mana hakim-hakim tersebut diduga menerima suap untuk membebaskan terdakwa yang jelas-jelas bersalah,” tambahnya.
Desakan untuk Pengawasan Ketat oleh Komisi Yudisial
Herwanto menegaskan pentingnya pengawasan ketat oleh Komisi Yudisial (KY) dalam setiap proses pengadilan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kerugian besar. Ia berharap agar KY tidak hanya melakukan evaluasi setelah terjadinya masalah, tetapi juga dapat mencegah potensi penyalahgunaan wewenang sejak dini.
“Kami berharap Komisi Yudisial bisa mencegah kejadian seperti ini sejak awal. Pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan, apalagi dalam kasus yang merugikan negara dan masyarakat dengan angka yang sangat besar,” tandasnya.
Keputusan vonis lepas yang mengejutkan dalam kasus pemalsuan surat kuasa ini kini tengah menjadi perhatian publik, dengan harapan agar proses hukum yang adil dapat ditegakkan tanpa adanya campur tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Baradatu, bersama masyarakat yang peduli akan keadilan, berharap agar Komisi Yudisial dapat mengambil langkah tegas dalam menyelidiki dugaan penyalahgunaan wewenang oleh hakim yang menangani perkara ini.(Red)